Selasa, Mei 27, 2008

Berdirinya Negeriku Ngayogyakarta Hadiningrat

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan. Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755. Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton. Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan. Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756 Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta. Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955. Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta. Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain. Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya. Letak Wilayah Wilayah DIY ini berada di bagian tengah Pulau Jawa, termasuk zone tengah bagian selatan dari formasi geologi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara astronomi, daerah ini terletak di antara 7033'LS - 8012'LS, yang mencakup wilayah bekas Swapraja Kasultanan Yogyakarta, wilayah bekas Swapraja Kadipaten Pakualaman dan tiga daerah yang semula termasuk wilayah Jawa Tengah, yakni bekas daerah enclave Kapanewon di Gunungkidul, daerah enclave Kawedanan Imogiri dan daerah enclave Kapanewon di Bantul. Secara administratif, keseluruhan wilayah tersebut berbatasan dengan Kabupaten Magelang (di sebelah barat laut), Kabupaten Klaten (di sebelah timur), Kabupaten Wonogiri (di sebelah tenggara), Samodra Indonesia (di sebelah selatan), dan Kabupaten Purworejo (di sebelah barat). Luas keseluruhan wilayah DIY sekitar 3.185,80 km2, yang terbagi dalam lima wilayah administratif daerah Tingkat II, yaitu : Kotamadia Yogyakarta dengan luas 32,5 km2 Kabupaten Bantul dengan luas 506,85 km2 Kabupaten Kulonprogo dengan luas 586,27 km2 Kabupaten Gunungkidul dengan luas 1.485,36 km2 Kabupaten Sleman dengan luas 574,82 km2 Secara geografis, wilayah DIY tersusun atas empat satuan, yaitu Pegunungan Selatan, Gunung api Merapi, dataran rendah antara Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulonprogo, dan Pegunungan Kulonprogo dan dataran rendah selatan. Penduduk Ada dua faktor yang berkenaan dengan perkembangan penduduk di Propinsi DIY. Pertama, keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) di propinsi ini. Program KB pada mulanya diorientasikan kepada penekanan jumlah kelahiran, telah meningkatkan prioritasnya kepada pembentukan keluarga sejahtera. Kedua, berkaitan dengan berbagai predikat yang melekat pada kota Yogyakarta, besarnya arus migrasi antar daerah, khususnya migrasi dari daerah/propinsi lain ke propinsi DIY. Pertumbuhan penduduk di propinsi DIY pada periode 1984-1991 menunjukkan pertumbuhan rata-rata sebesar 0,77% dengan rata-rata pertumbuhan laki-laki sebesar 0,79% dan rata-rata pertumbuhan wanita sebesar 0,76%. Pertumbuhan penduduk terbesar dalam periode diatas terjadi pada tahun 1985 sebesar 1,11% dengan pertumbuhan laki-laki sebesar 1,21% dan dengan pertumbuhan wanita 1,01%. Dilihat dari rasio seksual, pada periode 1984-1991 rasio terbesar terjadi pada tahun 1987 sebesar 97,14% dan rasio terendah pada tahun 1984 sebesar 96,71%. Apabila perkembangan penduduk diproyeksikan ke masing-masing daerah tingkat II dengan melihat luas masing-masing daerah, terlihat bahwa distribusi penduduk terpusat di Kotamadya Yogyakarta, disusul Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman. Kepadatan terbesar ada di Kotamadya Yogyakarta sebesar 13.687 jiwa per kilometer persegi, atau hampir sekitar 10 kali kepadatan Kabupaten Bantul (sebagai daerah terpadat kedua). Latar belakang ketimpangan distribusi pertama-tama berkaitan besarnya urbanisasi penduduk di daerah lain ke Yogyakarta dan arus migrasi dari daerah/propinsi lain. Apabila besarnya kepadatan diperbandingkan dengan prosentase wilayah, terlihat bahwa Yogyakarta yang hanya diwakili 1,02% dari keseluruhan wilayah menampung tidak kurang dari 14% penduduk propinsi DIY. Perdagangan Kegiatan perdagangan selalu berkaitan dengan kegiatan sektor lainnya. Gambaran yang laing jelas dari keterkaitan ini adalah beberapa kesetaraan antara struktur industri dan struktur perdagangan di DIY. Pertama, adalah dalam hal skala usaha industri, kondisi perdagangan di DIY juga didominasi oleh pedagang kecil, pedagang informal, dan pedagang tradisional. Kedua, berkaitan dengan jenis lapangan usaha strategis. Beberapa komoditas ekspor yang menjadi andalan dalam perdagangan luar negeri merupakan industri-industri strategis dalam struktur industri di DIY. Dua keterkaitan tersebut memiliki implikasi yang lebih jauh dalam penyerapan tenaga kerja dan arus investasi di kedua sektor. Dalam kaitan ini, asas kemitraan antara pengusaha besar maupun menengah dengan pedagang kecil menjadi sebuah prasyarat bagi terciptanya sruktur industri dan perdagangan yang sehat dan seimbang. Lembaga keuangan, semacam bank, koperasi ataupun BPR memiliki peranan yang amat strategis, terutama berkenaan dengan upaya pemberdayaan usaha ekonomi berskala kecil. Pendidikan Pendidikan sebagai investasi sumber daya manusia, bagaimanapun, selalu bersentuhan dengan kebutuhan siswa/mahasiswa sebagai manusia maupun sebagai peserta didik. Dalam kaitan ini, terdapat beberapa lapangan usaha yang selalu inheren dengan kebutuhan pendidikan itu sendiri, seperti penyewaan rumah/kamar, toko buku dan stationary, toko pakaian, rumah/warung makan, dan jenis hiburan lainnya. Tidak ada satu sumber yang menyebutkan seberapa besar pengaruh pendidikan pada berbagai lapangan usaha tersebut. Oleh karenanya, gambaran tentang peran nyata pendidikan pada pertumbuhan ekonomi daerah lebih tampak pada munculnya berbagai jenis usaha penunjang pendidikan. Dengan julukannya sebagai kota pendidikan, di kota Yogyakarta terdapat berbagi jenis usaha yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Usaha sewa kamar atau yang lebih dikenal dengan istilah rumah kost merebak di hampir setiap rumah, baik yang berbentuk asrama (putra/putri) maupun berbentuk kost yang menyatu dengan rumah induknya. Dilihat dari fasiltasnya, terdapat beberapa 'klas' usaha rumah kost. Dari yang paling sederhana (kamar kosongan) sampai dengan yang paling mewah (dengan fasilitas kamar mandi, televisi, dan telepon per kamar). Dilihat dari segi manajemen, hampir semua usaha kost ini bersifat informal. Tidak ada standar harga yang seragam. Harga cenderung dipengaruhi oleh lokasi kost terhadap pusat-pusat pertumbuhan, seperti lokasi sekolah/perguruan tinggi, areal pertokoan dan lain-lain. Dari keberadaan rumah kost inilah berbagai lapangan usaha baru biasanya diciptakan. Di sekitar lokasi kost umumnya terdapat warung-warung makan sederhana, jasa pencucian dan binatu. Dengan semakin banyaknya usaha warung makan, suhu persaingan antar warung makan juga semakin terlihat. Usaha untuk memperkuat daya saing tiap warung makan umumnya diwujudkan dengan memberikan berbagai fasilitas kenyamanan, seperti pola self-service, minuman mineral yang memberikan secara gratis, fasilitas televisi dan surat kabar di ruang makan dan sebagainya. Sementara itu, dengan semakin banyaknya rumah kost, akhir-akhir ini muncul pula usaha jasa kost, yaitu usaha-usaha informasi tentang rumah/kamar kost yang belum dihuni. Berkaitan dengan kebutuhan bacaan, alat-alat tulis dan peraga pendidikan, terdapat cukup banyak toko-toko buku dan alat tulis. Disamping itu, terdapat pula usaha informal kegiatan pendidikan, misalnya produksi rak-rak/almari buku, meja-kursi belajar. Produk-produk yang berbahan baku kayu ini dikemas secara sederhana, dan terpampang dipinggiran jalan di sekitar lokasi sekolah, seperti di sekitar jalan Samirono, disekitar ringroad, dan lain-lain. Seiring dengan era komputerisasi, usaha penyewaan komputer menjamur di hampir setiap sisi kehidupan mahasiswa. Usaha yang umumnya dikelola oleh mahasiswa ini biasanya menawarkan jasa penyewaan, pengetikan, pencetakan, olah data, serta yang terakhir ini juga marak adalah 'warnet' atau warung internet dengan sewa perjamnya yang bervariasi dan memberikan pelayanan yang cukup memuaskan bagi pelanggannya. Suhu persaingan antar penyewaan biasanya mengacu pada kehandalan mesin yang disewakan, disamping adanya berbagai fasilitas seperti minuman gratis, kopi gratis (bagi yang lembur) dan harga khusus untuk penyewaan malam hari. Usaha lain di bidang pendidikan yang amat menyolok adalah pada usaha jasa pendidikan itu sendiri. Berbagai kursus, les privat, dan lembaga pendidikan memperkukuh basis pendidikan kota ini. Hal menarik dari pertumbuhan lembaga pendidikan ini adalah semakin banyaknya jenis jasa pendidikan yang ditawarkan. Keberlimpahan ini semestinya menjadi faktor pendukung tersendiri dalam upaya meningkatkan ketrampilan siswa didik. Sebab pendidikan formal, bagaimanapun, tidak akan sepenuhnya mampu memikul fungsi-fungsi utama pendidikan nasional.

Tidak ada komentar: